A. Definisi At
Tsawabit dan Al
Mutaghayyirat :
Tsawabit adalah
masalah-masalah prinsip yang berdalil qath’i
(mutlak dan pasti), baik qath’iyyuts-tsubut
(kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para
ulama), maupun qath’iyyud-dilalah
(makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di antara para
ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun mutaghayyirat,
ia adalah hal-hal yang mungkin mengalami penggantian, perubahan, takwil, dan
pengembangan. Dan perubahan di dalamnya bukanlah merupakan pelanggaran terhadap
hal-hal pokok (ushul) dan asasi. Ia
merupakan hal yang fleksibel. Sebab, perubahan waktu dan tempat menuntut adanya
fleksibilitas, adaptasi, dan respon, sembari tetap menjaga tsawabit. Allah swt
telah menitipkan dalam Islam tsawabit
yang menjamin keberlangsungan dan mutaghayyirat
yang menjamin kelaikan dan kesesuaian dengan segala kondisi dan situasi.
B. Dimensi At
Tsawabit Wal Mutaghayyirat :
Ruangan yang boleh menerima
perubahan, pembaharuan dan ijtihad. Ruangan ini amat luas sekali. Kebanyakan
hukum syara’ dan urusan kehidupan dunia termasuk dalam ruangan ini seperti mana
yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w;
"Kamu lebih tahu
tentang urusan dunia kamu".
Begitu juga termasuk dalam ruangan
ini ialah perkara-perkara yang tidak ada nashnya atau sekedar mempunyai
nash-nash umum dan nash-nash khusus yang boleh ditafsirkan dan difahami
berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad yang dimaklumi. Berikut adalah hal-hal yang
bisa berubah :
a) Politik
b) Sosial
c) Ekonomi
d) Pendidikan
Ruangan ini bersifat tertutup,
tidak boleh menerima pembaharuan,ijtihad dan perubahan dengan sembarangan.
Termasuk dalam ruangan ini adalah perkara-perkara akidah, prinsip-rinsip umum,
hukum-hukm qath’i (hukum yang jelas melalui dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah
yang tidak boleh ditakwilkan lagi) yang menyatukan fikiran,perasaan dan suluk
(peradaban ummah). Ia adalah tonggak kepada kesatuan umat ini, oleh karena itu
ia tidak boleh berubah berdasarkan zaman dan tempat. Seperti :
a) ‘Aqaid (masalah-masalah keimanan)
b) Ibadah
(rukun Islam yang lima)
c) Akhlaq
(kumpulan pekerti yang utama seperti kejujuran, ihsan, keikhlasan, keberanian,
dsb)
Andai tidak ada tsawabit,
maka niscaya kita akan mendapatkan banyak umat di dalam satu umat, banyak
peradaban dalam peradaban Islam. Dan jadilah Islam bagaikan adonan yang dapat
dibentuk setiap orang sekehendak hati masing-masing. Jadilah pada setiap masa
ada persepsi khusus dan Islam khusus. Setiap negara mempunyai Islam tersendiri.
Setiap jamaah mempunyai Islam sendiri. Dan kita tidak mempunyai satu Islam yang
mempersatukan umat Islam yang menjadi pijakan peradaban, melainkan banyak Islam
sebanyak jumlah penggalan masa, tempat, negeri, jamaah, bahasa, dan lapisan
masyarakat. Jika demikian, maka akan tercapailah target musuh-musuh Islam.
Mereka akan mengatakan kepada
orang-orang, “Sesungguhnya Al Quran datang untuk hanya satu penggalan masa
tertentu, yakni masa Rasulullah saw. Jadi Islam bukanlah agama yang abadi. Dan
Al Quran bukanlah kitab yang diperuntukkan bagi seluruh manusia. Makanya Islam
tidak mempunyai peradaban yang mapan.” Padahal sesungguhnya, risalah Islam
datang untuk membimbing semua aspek kehidupan seluruh manusia sepanjang zaman,
dan bukan hanya untuk umat tertentu saja.
Secara garis besar, dapat kita katakan bahwa tsawabit dalam Islam adalah apa-apa yang
dijelaskan oleh Allah secara tekstual dan dengan cara yang tegas, yang tidak
memberikan celah untuk ijtihad
(multi-interpretasi). Ia tidak berubah meskipun zaman, tempat, lingkungan, dan
manusia berubah. Dan hukum-hukum yang bersifat tsawabit itu dijelaskan dengan rinci agar tidak mengundang
perdebatan. Hukum-hukum itu dibangun di atas latar belakang yang tidak akan
berubah sepanjang zaman. Contoh tsawabit
adalah wajibnya shalat, zakat, dan puasa; hukum waris yang telah menetapkan
porsi para ahli waris; haramnya perbuatan fahsya,
baik yang tampak maupun yang tidak tampak, seperti: zina, menuduh orang lain
berzina, minum minuman keras, memakan harta orang lain secara tidak sah,
membunuh tanpa alasan yang dibenarkan, makan bangkai, makan daging babi; dan
pokok akidah, masalah-masalah iman.
Demikian pula wajibnya melaksanakan apa yang Allah
turunkan, wajib mengamalkan hadits shahih;
wajibnya berperangai dengan akhlak mulia dan wajib meninggalkan akhlak tercela.
Atau dengan kata lain, tsawabit
adalah hukum-hukum yang dijelaskan oleh nash-nash Al Quran dan Sunah mutawatir yang qath’i (tegas, pasti) baik dari sisi tsubut (keabsahannya sebagai dalil) maupun dari sisi dalalah (hukum yang dikandungnya). Baik
hukum-hukum itu menyangkut hal yang aksiomatik dalam Islam, maupun hukum-hukum
yang samar bagi sebagian orang seperti pembagian waris. Atau hukum yang
merupakan ketentuan-ketentuan syar’i
yang tidak ada celah untuk masuknya pendapat dan ditentukan oleh Sunah Mutawatir, seperti bilangan rakaat dalam
setiap shalat, waktu-waktu shalat, dan lain sebagainya. Di samping itu semua,
masuk dalam kategori tsawabit adalah ijma’ (konsensus) yang bersifat
eksplisit yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan tidak memperkenankan kita berijtihad. Bahkan, adalah
kufur orang yang menentang hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’ yang qath’i ini, bila hukum itu menurut satu dari tiga pendapat para
ulama termasuk hal yang aksiomatik dalam Islam.
Karenanya, tsawabit
ini adalah pemberi kata putus dan pembeda antara perilaku dan keyakinan pemeluk
agama Islam dengan yang lainnya. Sebab ia merupakan akidah yang wajib diikuti
oleh setiap orang. Maka siapa yang menolaknya adalah keluar dari Islam,
berdasarkan kaidah-kaidah hukum syara’.
Dan dengan itulah seorang mukmin dibedakan dari yang lainnya. Karenanya tidak
boleh keluar dari lingkaran yang qath’i itu.
Berbeda halnya dengan hukum-hukum yang bersifat zhanni (asumtif), atau yang berubah-ubah, atau yang mempunyai multi
penafsiran. Maka dalam hal ini siapa yang mengambil salah satu penafsirannya
tetap berada dalam kawasan Islam dan tidak dianggap keluar Islam.
Mutaghayyirat merupakan lahan berpikir, perenungan, dan
ijtihad dalam bingkai tsawabit yang qath’i untuk akal. Sebab, mutaghayyirat
bersifat zhanni. Maka siapa yang mengingkari pemahaman dari sebuah ayat yang
memang dikandung oleh ayat itu – sebagaimana juga ayat itu mengandung pemahaman
lain – maka ia tidaklah keluar dari Islam. Sebab, ia telah beriman kepada tsawabit
yang bersifat qath’i dan tidak keluar darinya. Ia hanya menolak salah satu
penafsiran dari hukum yang bersifat zhanni yang menjadi kawasan ijtihad. Setiap
mujtahid boleh mengikuti apa yang dalam pandangannya lebih kuat. Jika ia memang
berkompeten untuk melakukan ijtihad, maka para pengikutnya pun berada dalam
kebenaran.
Jika semua dalil bersifat qath’i, itu sama saja dengan
pembelengguan dan pembekuan akal manusia. Manusia akan hidup dalam kesempitan
dan kesulitan. Kita akan tidak berdaya menghadapi berbagai problem yang
senantiasa berkembang menuntut manusia untuk mengetahui hukumnya. Penyikapannya
tidak mungkin dilakukan secara optimal, kecuali jika para mujtahid melakukan
kajian terhadap nash yang bersifat zhanni dan mengambil kesimpulan hukum-hukum
atas kasus-kasus baru itu darinya. Dengan demikian, syariat ini dapat
berinteraksi dengan kepentingan manusia di segala tempat dan waktu. Bahkan,
andai nash-nash itu semuanya bersifat qath’i niscaya akan ada orang berkata,
“Mengapa nash-nash itu tidak fleksibel sehingga kita, di hadapannya, menjadi
mesin yang tidak punya kemauan, pilihan, dan pemfungsian akal.
Oleh karena itu, perbedaan pandangan dalam masalah fiqih
yang muncul sebagai buah dari ijtihad dalam mutaghayyirat tidaklah
membahayakan. Bahkan, itu merupakan keleluasaan untuk umat dalam melakukan
pilihan dan beramal. Mereka dapat mengambil dari hukum-hukum itu apa yang dapat
mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan sesuai dengan tuntutan kehidupan
mereka, serta menghilangkan kesulitan dan kesempitan dari mereka. Bahkan
perbedaan pandangan – dalam hal mutaghiyyirat – itu merupakan kekayaan agung
perundang-undangan Islam dan pusaka fiqih yang indah. Ia mencakup segala
kebutuhan manusia dalam naungan syariat Islam yang abadi selama kita memelihara
hal yang qath’i dan baku.
Dalam hal ini ‘Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan, “Tidak
membuat saya gembira jika para sahabat tidak berbeda pandangan. Sebab jika
mereka bersepakat atas satu pendapat lalu ada orang yang berbeda dengan
kesepakatan itu, maka ia adalah sesat. Sedangkan jika mereka berbeda pendapat,
lalu ada orang yang mengambil pendapat ini dan yang lain mengambil pendapat
itu, itu menunjukkan dalam hal itu ada keleluasaan.” Karenanya Imam Ahmad
mengatakan, “Perbedaan pendapat itu merupakan keleluasaan.” Yahya Bin Sa’id
mengatakan. “Orang yang berilmu adalah orang yang memiliki keleluasaan. Dan
selagi para pemberi fatwa berbeda pendapat, yang satu menghalalkan ini dan yang
lain mengharamkan itu, maka tidak boleh saling mencela selama semua pihak berpegang
pada tsawabit sedangkan ijtihad mereka terjadi dalam mutaghayyirat.”
Comments