WAWASAN
Apakah itu wawasan kependidikan?
wawasan kependidikan adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh para pendidik maupun calon pendidik tentang bagaimana memanusiakan manusia. Educational horizon (wawasan
kependidikan) is the way you perceive education today and how it will
go in the future – for the better or worse. More importantly – how you
are going to move to a better education.
“Wawasan kependidikan adalah bagaimana kamu (kita) melihat
pendidikan sekarang ini dan bagaimana kelanjutannya dimasa mendatang-
menjadi lebih baik maupun lebih buruk. Yang lebih penting lagi-
bagaimana kamu (kita) akan bergerak maju untuk pendidikan yang lebih
baik.”
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar
Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku
pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara
mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia
(humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam
mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi
yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan
disempurnakan.
Ki Hajar Dewantara juga pernah mengatakan : “Pengaruh pengajaran itu
umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya
hidup batin itu terdapat dari pendidikan.“Manusia merdeka yaitu manusia
yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan
tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.“Maksud pengajaran dan pendidikan
yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia
sebagai anggota dari persatuan.
Memanusiakan Manusia Melalui Konsep-Konsep Dasar Manusia
Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo,tetapi harus meningkatkan
diri menjadi human.Manusia harus memiliki prinsip,nilai,dan rasa
kemanusiaan yng melekat pada diri nya.Manusia memiliki akal budi yang
bisa memunculkan rasa atau prikemanusiaan.Prikemanusiaan inilah yang
mendorong prilaku baik sebagai manusia.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti,dan prilaku-prilaku lainnya.
Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama,memanusiakan manusia menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain.Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia,bagi orang lain memberikan rasa percaya,hormat,kedamain,dan kesejahteraan hidup.Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendah kan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia.sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi dan menciptakan penderitaan,kesusahan,ketakutan,maupun rasa dendam
Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain.Sikap dan perilaku manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi.Sebagai makhluk tuhan yang sama harkat dan martabat nya dihadapan Tuhan sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain,apapun latar belakangnya.
Manusia itu mahluk ciptaan-Nya yang unik. Karena diberikan kelebihan dari akal budinya, tapi juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan otaknya, manusia bisa berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada yang sama persis. Oleh karenanya dalam menangani manusia terdapat aspek yang sifatnya “customized”, yang berbeda antara menangani satu orang dengan orang lain. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.
Setiap manusia ingin hidup nyaman, ingin dihargai, ingin dimengerti.Dalam konsep pengendalian, apabila kita berhasil memberikan apa yang diperlukan oleh orang-orang disekitar kita, maka orang-orang disekitar kita akan lebih mudah dan lebih merasa nyaman saat harus kita kendalikan. Dengan kata lain, karena manusia ingin hidup nyaman maka apabila kita berhasil memberikan kenyamanan, kita akan lebih mudah mengendalikan orang tersebut. Jadi, bila mereka ingin dihargai, maka berikan penghargaan. Mereka ingin dimengerti, maka berikan pengertian. Itu kiatnya. Berikan apa yang mereka inginkan, karena sebagian besar yang mereka inginkan sebetulnya kita mampu untuk memberikannya. Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.
Kalau kita berhadapan dengan kekhasan orang, maka kita perlu memiliki soft skill untuk memahami orang per orang. Dari kebutuhan umum orang-orang disekitar kita yang dapat kita generalisasikan, ternyata ada prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada, karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.
Seperti yang telah kita singgung di atas.Manusia memiliki kekhasan tersendiri.Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya.Namun pada saat sekarang,banyak sistem-sistem atau prosedur yang dibuat oleh manusia sendiri tetapi menjadikan manusia terbelenggu akan hal tersebut.
• Dalam Segi Pendidikan
Realita yang terjadi, murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunnya dan sebagainya.Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.
Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan agar citra lembaga pendidikan terangkat.
Boleh saja suatu lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti kemauan lembaga.Sudahkah kita memahami karakter seorang murid kita?
Otoritas seorang guru memaksakan murid untuk menjadi pandai adalah kewajiban ke nomor sekian, melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.Seorang guru tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan, mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.
Entah dengan sekarang, tapi bertahun-tahun lalu kita sering menemukan seorang anak yang berhenti sekolah gara-gara belum membayar uang bulanan sekolah. Itu terjadi di sekolah, lembaga yang bidang utamanya mengajar dan mendidik manusia. Maka, tidak mengherankan jika dari sekolah tersebut menghasilkan manusia-manusia yang ‘kejam’, tapi dibenarkan oleh prosedur.
Komputer dan robot adalah contoh benda-benda yang bisa melakukan segalanya sesuai prosedur, dan harus sesuai prosedur, karena keduanya diciptakan untuk itu. Maka, jika manusia dituntut harus selalu melakukan segalanya sesuai prosedur dan tidak boleh sedikitpun keluar dari prosedur tersebut, bukankah itu sebuah cara untuk menjadikan manusia sebagai benda.
Contoh sebuah prosedur yang baik, yang dapat kita temukan adalah prosedur shalat. Normalnya, shalat wajib dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, prosedur normal itu boleh dan malah dianjurkan untuk dilanggar jika seseorang dalam kondisi sakit, atau tidak mampu untuk melakukan shalat. Misalnya sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Anda juga boleh bertayammum dalam keadaan sakit atau dalam situasi tidak ada air sama sekali. Justru ketika seseorang tidak mampu, tapi memaksakan diri, maka orang tersebut wajib untuk diberi peringatan.Prosedur semacam itu, terus terang saja, sulit ditemukan.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti,dan prilaku-prilaku lainnya.
Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama,memanusiakan manusia menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain.Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia,bagi orang lain memberikan rasa percaya,hormat,kedamain,dan kesejahteraan hidup.Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendah kan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia.sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi dan menciptakan penderitaan,kesusahan,ketakutan,maupun rasa dendam
Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain.Sikap dan perilaku manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi.Sebagai makhluk tuhan yang sama harkat dan martabat nya dihadapan Tuhan sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain,apapun latar belakangnya.
Manusia itu mahluk ciptaan-Nya yang unik. Karena diberikan kelebihan dari akal budinya, tapi juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan otaknya, manusia bisa berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada yang sama persis. Oleh karenanya dalam menangani manusia terdapat aspek yang sifatnya “customized”, yang berbeda antara menangani satu orang dengan orang lain. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.
Setiap manusia ingin hidup nyaman, ingin dihargai, ingin dimengerti.Dalam konsep pengendalian, apabila kita berhasil memberikan apa yang diperlukan oleh orang-orang disekitar kita, maka orang-orang disekitar kita akan lebih mudah dan lebih merasa nyaman saat harus kita kendalikan. Dengan kata lain, karena manusia ingin hidup nyaman maka apabila kita berhasil memberikan kenyamanan, kita akan lebih mudah mengendalikan orang tersebut. Jadi, bila mereka ingin dihargai, maka berikan penghargaan. Mereka ingin dimengerti, maka berikan pengertian. Itu kiatnya. Berikan apa yang mereka inginkan, karena sebagian besar yang mereka inginkan sebetulnya kita mampu untuk memberikannya. Iman dan Takwa adalah buah kesadaran, keyakinan – yang mana sudah ada di dalam diri setiap manusia. Kesadaran itu, keyakinan itu hanya perlu diungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas Agama.
Kalau kita berhadapan dengan kekhasan orang, maka kita perlu memiliki soft skill untuk memahami orang per orang. Dari kebutuhan umum orang-orang disekitar kita yang dapat kita generalisasikan, ternyata ada prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada, karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.
Seperti yang telah kita singgung di atas.Manusia memiliki kekhasan tersendiri.Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lainnya.Namun pada saat sekarang,banyak sistem-sistem atau prosedur yang dibuat oleh manusia sendiri tetapi menjadikan manusia terbelenggu akan hal tersebut.
• Dalam Segi Pendidikan
Realita yang terjadi, murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunnya dan sebagainya.Pendidikan adalah untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia.
Jadi, lembaga pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan agar citra lembaga pendidikan terangkat.
Boleh saja suatu lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti kemauan lembaga.Sudahkah kita memahami karakter seorang murid kita?
Otoritas seorang guru memaksakan murid untuk menjadi pandai adalah kewajiban ke nomor sekian, melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.Seorang guru tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan, mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.
Entah dengan sekarang, tapi bertahun-tahun lalu kita sering menemukan seorang anak yang berhenti sekolah gara-gara belum membayar uang bulanan sekolah. Itu terjadi di sekolah, lembaga yang bidang utamanya mengajar dan mendidik manusia. Maka, tidak mengherankan jika dari sekolah tersebut menghasilkan manusia-manusia yang ‘kejam’, tapi dibenarkan oleh prosedur.
Komputer dan robot adalah contoh benda-benda yang bisa melakukan segalanya sesuai prosedur, dan harus sesuai prosedur, karena keduanya diciptakan untuk itu. Maka, jika manusia dituntut harus selalu melakukan segalanya sesuai prosedur dan tidak boleh sedikitpun keluar dari prosedur tersebut, bukankah itu sebuah cara untuk menjadikan manusia sebagai benda.
Contoh sebuah prosedur yang baik, yang dapat kita temukan adalah prosedur shalat. Normalnya, shalat wajib dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, prosedur normal itu boleh dan malah dianjurkan untuk dilanggar jika seseorang dalam kondisi sakit, atau tidak mampu untuk melakukan shalat. Misalnya sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Anda juga boleh bertayammum dalam keadaan sakit atau dalam situasi tidak ada air sama sekali. Justru ketika seseorang tidak mampu, tapi memaksakan diri, maka orang tersebut wajib untuk diberi peringatan.Prosedur semacam itu, terus terang saja, sulit ditemukan.
seperti apakah manusia itu semestinya?
Yang pertama, setiap manusia itu dibentuk ataupun dibekali oleh
pendidikan agar dapat merasakan kemerdekaan dirinya. Merdeka berarti
kebebasan. Jadi melalui pendidikan kita dididik agar kita menjadi
individu yang bisa “melawan” terhadap penindasan yang dialaminya.
Yang kedua, kita didik agar menjadi manusia yang memiliki akal budi,
yang mampu membedakan mana yang benar maupun yang salah, yang berani
memperjuangkan kebenaran apapun risikonya.
Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu mempunyai hak asasi yang sama, yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan. Dan juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Yang hidup berdampingan dan hidup saling melengkapi.
Melihat keterangan tersebut maka dapat kita bayangkan betapa indahnya manusia itu diciptakan Sang Pencipta. Namun manusia itu sendirilah yang membuat hidupnya tidak manusiawi karena keserakahan, dan menyalahgunakan kehendak bebas yang telah diberikan oleh Allah.
Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu mempunyai hak asasi yang sama, yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan. Dan juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Yang hidup berdampingan dan hidup saling melengkapi.
Melihat keterangan tersebut maka dapat kita bayangkan betapa indahnya manusia itu diciptakan Sang Pencipta. Namun manusia itu sendirilah yang membuat hidupnya tidak manusiawi karena keserakahan, dan menyalahgunakan kehendak bebas yang telah diberikan oleh Allah.
Pendidikan yang masih “Memintarkan” belum “Memanusiakan”
Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu
menjalani kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus
melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat
intelektualitas maka pendidikan hanya akan menghasilkan orang-orang
cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan berarti ada yang
tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan adalah
memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah beberapa
pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara
syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta.
Menarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap harapan
besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia
pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam
“kebelumberhasilan” memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa
dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.
Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam
memintarkan manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat
kelulusan ujian akhir nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan
ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa
pendidikan telah mampu memintarkan peserta didik. Semakin banyak peserta
didik yang lulus maka semakin “berhasil” pendidikan dalam memintarkan
peserta didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik
tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik? Tolak
ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik.
Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta didik bersikap
sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah mematuhi
peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku,
adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan
yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? semua
pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan
kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita
bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda.
Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam
memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh
memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap
kebobrokan bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon”
dunia pendidikan. Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap
ketidakberhasilan pendidikan kita dalam memanusiakan peserta didik.
Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian pendidikan nasional juga
bertanggungjawab karena sebagai komando tertinggi arah kebijakan
pendidikan seakan “hanya” mengeluarkan kebijakan dengan sedikit
realisasi dan kontrol atas kebijakan tersebut.
Pendidikan karakter yang digaungkan dan menjadi angin surga akan
terciptanya pendidikan yang mampu memanusiakan peserta didik sampai saat
ini pelaksanaan di lapangan hanya terbatas pada rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru. Sedangkan tahap pelaksanaan masih
sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini terjadi karena selain guru
diharapkan menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik tetapi
dilain pihak guru juga harus membelajarkan materi pembelajaran yang mana
materi tersebut begitu banyak. Sehingga yang terjadi guru hanya
terfokus pada penyampaian materi pembelajaran karena materi itulah yang
akan diujikan nantinya di ujian akhir nasional, sedangkan pendidikan
karakter yang sebenarnya justru menjadi target pendidikan malah
dikesampingkan sehingga sampai saat ini pendidikan hanya mampu
memintarkan peserta didik tapi belum mampu memanusiakan peserta didik.
Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus
memanusiakan peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien
adalah dengan menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan
bertanggungjawab penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada
akhirnya juga akan berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan
sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses
dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama. Selama sistem
ujian akhir nasional kita anut maka yang “dikejar” bukanlah ilmu lagi
tetapi nilai. Dan jika hal ini sudah terjadi maka jangan harap
pendidikan karakter yang didambakan akan terwujud.
Perbedaan fasilitas yang dimiliki oleh sekolah juga menjadi pemicu
kekurangberhasilan pendidikan dalam memintarkan maupun memanusiakan
peserta didik. Beban sekolah dengan fasilitas kurang memadai tentu lebih
berat dibanding sekolah dengan fasilitas yang lebih memadai. Fasilitas
pembelajaran yang dimiliki sekolah dengan kurikulum pendidikan saat ini
ibarat “kelas ringan” melawan “kelas berat”. Pendidik dengan fasilitas
pembelajaran terbatas tentu harus berpikir ekstra dalam merencanakan
pembelajaran karena materi yang harus disampaikan sangat banyak dan
berat bagi peserta didik.
Masyarakat sebagai lingkungan terlama peserta didik beraktivitas
juga memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan atau
kekurangberhasilan pendidikan dalam memanusiakan peserta didik. Di
lingkungan masyarakat peserta didik melihat langsung teladan dari
orang-orang yang dikenalnya. Sebaik apapun pembelajaran karakter yang
dilakukan di sekolah tetapi jika lingkungan masyarakat kurang mendukung
dalam meneladankan karakter maka yang akan dipahami dan ditiru peserta
didik tentulah yang dicontohkan warga masyarakat.
Melihat betapa urgentnya peran pemerintah, pendidik dan
masyarakat dalam usaha memintarkan dan memanusiakan peserta didik maka
kerjasama ketiga pihak sangat diharapkan, sehingga cita-cita pendidikan
untuk menghasilkan peserta didik yang mumpuni dalam segi ilmu dan moral
dapat tercapai. Semoga!
Sumber (Muhammad Syamsuri, M.Pd Guru SMPN 4 Kintap,http://spiritscienceeducation.blogspot.com/2012/09/pendidikan-yang-masih-memintarkan-belum.html)
5W+1H PENDIDIKAN
1. WHATà apa itu Pendidikan ?
a. Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu:
Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
b. Pendidikan adalah
usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
c. Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
d. Sedangkan pengertian pendidikan menurut
H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian
yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara
fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti
termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan
dari manusia.
e. Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah Bimbingan atau
pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak
untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.
2. WHO–à Siapa Pendidik itu?
Dari segi bahasa pendidik adalah orang yang mendidik. Dari segi
istilah merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat pada
seseorang yang tugasnya berkaitan dengan pendidikan.
Istilah pendidik dalam beberapa literatur kependidikan sering
diwakili oleh istilah guru. Guru sebagai orang yang kerjanya mengajar /
memberikan pengajaran di sekolah / kelas. Artinya, guru bekerja dalam
pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu
anak – anak mencapai kedewasaan masing – masing. Guru tidak hanya
menyampaikan materi pengetahuan tertentu, tetapi ikut aktif serta
kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi
anggota masyarakat sebagai orang dewasa. Dari sini, kita bisa pahami
bahwa kedudukan seorang guru sangat penting dalam proses pendidikan
karena dia bertanggungjawab dan menentukan arah pendidikan dalam rangka
mencetak generasi bangsa yang unggul disegala bidang.
Hasan Fahmi mengutip salah satu ucapan seorang penyair zaman
modern, yang berkenaan dengan kedudukan guru. Syair tersebut artinya “Berdirilah kamu seorang guru dan hormatilah dia”. Seorang guru itu hampir mendekati kedudukan seorang rasul, yaitu menempati urutan kedua sesudah martabat Rasul
Siapa peserta didik itu?
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Sumber (wikipedia Bahasa Indonesia)
peserta didik adalah komponen masukan dalam sistem
pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga
menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan peserta didik dapat
ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan social,
pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/paedagogis.
1. Pendekatan sosial, peserta didik adalah
anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota
masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada dalam
lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya, dan masyarakat yang lebih
luas. Peserta didik perlu disiapkan agar pada waktunya mampu
melaksanakan perannya dalam dunia kerja dan dapat menyesuaikan diri dari
masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai dari lingkungan
keluarga dan dilanjutkan di dalam lingkungan masyarakat sekolah. Dalam
konteks inilah, peserta didik melakukan interaksi dengan rekan
sesamanya, guru-guru, dan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah.
Dalam situasi inilah nilai-nilai social yangterbaik dapat ditanamkan
secara bertahap melalui proses pembelajaran dan pengalaman langsung.
2. Pendekatan Psikologis, peserta didik adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Peserta didik memiliki
berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, inat, kebutuhan,
social-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu
perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di
sekolah, sehingga terjadi perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia
seutuhnya. Perkembangan menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas
dalam diri seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapasitas,
fungsi, dan efisiensi. Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya
perkembangan intelegensi, sosial, emosional, spiritual, yang saling
berhubungan satu dengan lainnya.
3. Pendekatan edukatif/paedagogis, pendekatan pendidikan
menempatkan peserta didiksebagai unsur penting, yang memiliki hak dan
kewajiban dalam rangka sistem pendidikan menyeluruh dan terpadu.
3. WHYàMengapa Pendidikan Penting?
Beberapa hari yang lalu, saat saya berada diperjalanan dari rumah
saya di cikutra ke kampus di ledeng (saya suka memikirkan banyak hal
secara acak ketika berada di kendaraan), pikiran saya memunculkan
pertanyaan yang sangat sederhana tapi penting: mengapa pendidikan
penting?
Mewariskan kebudayaan
Saya teringat salah satu mata kuliah landasan pendidikan yang saya
ambil tahun kemarin. Salah satu esensi terpenting pendidikan adalah
memanusiakan manusia. Pendidikan diciptakan untuk memanusiakan manusia.
Yang membedakan manusia dan bukan manusia adalah keberbudayaannya.
Pendidikan diciptakan untuk mewariskan kebudayaan terdahulu agar
generasi berikutnya mendapatkan kebajikan generasi terdahulu sehingga
mereka memulai start di garis finish generasi terdahulu yang
memungkinkan mereka mencapai apa yang belum sempat dicapai oleh generasi
terdahulu.
Dengan itulah mereka menjadi manusia, manusia yang lebih baik.
Dengan memiliki kebudayaan, dan menciptakan kebudayaan yang lebih baik.
Cepat atau lambat, kita semua akan mati
ini adalah poin yang membuat saya tersadar: tidak perduli sehebat apa anda sekarang, anda (dan kita semua) memiliki batas bernama kematian. Saya teringat kelas language in society yang
saya ambil semester ini: Satu bahasa mati ketika tidak ada lagi
pembicara / pengguna bahasa bahasa tersebut. Ketika generasi sunda
setelah saya lebih memilih berbicara bahasa indonesia alih-alih
berbahasa sunda dan semua pembicara bahasa sunda dari generasi saya
keatas sudah habis (red: wafat), bahasa sunda juga turut habis
riwayatnya.
Berfikir “terbuka”
Jika memang pendidikan sepenting itu, apa yang harus kita lakukan
untuk menyikapinya? kita mungkin bukan penentu kebijakan atau pelaksana
pendidikan seperti guru / dosen / dll, tapi ada banyak hal yang dapat
kita lakukan. Hal paling sederhana tapi luar biasa bermanfaat adalah
berbagi apa yang kita ketahui. Saya pribadi percaya bahwa berbagi atau bertukar pikiran atau menyampaikan pemikiran adalah rantai pendidikan yang paling sederhana dan paling efisien.
Pikirkan mana yang lebih anda ingat: ceramah dosen di kelas 3 SKS yang
panjang dan membosankan atau diskusi penuh ide segar dari kolega anda?
Mungkin beberapa dari kita merasa terancam dengan berbagi apa yang
kita ketahui karena apa yang kita ketahui merupakan ‘kunci’ untuk
mendapatkan penghasilan. Era keterbukaansudah
ada di depan mata (industri yang sudah merasakan epidemi-nya adalah
industri web yang bahkan harus terbuka dan menciptakan peluang untuk
pihak ketiga untuk berkolaborasi agar bertahan. Contoh: twitter) dan kelak informasi-informasi termasuk apa yang anda ketahui bisa diakses oleh semua orang. Apakah masih ada secret ingredient itu?
Beberapa dari kita mungkin merasa ‘malas’ atau ‘tidak punya cukup
waktu’ untuk berbagi. Coba pikirkan sejenak: ketika usia anda makin
senja dan anda tidak lagi cukup tanggap terhadap perubahan, apa yang
akan terjadi? Berbagi pasti menciptakan timbal balik karena ada pihak
lain yang mendapatkan manfaat dari anda sehingga menciptakan rangkaian
kejadian yang ujungnya akan menguntungkan anda. Mungkin ini adalah
alasan logis mengapa giving is the only way for receiving.
4. WHEN –à Kapan Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan berlangsung kapanpun, karena mnengingat kebutuhan
manusia terhadap pendidikan itu sendiri sangatlah tinggi. Untuk
memperoleh pendidikan tidak ada keharusan bagi seseorang untuk menunggu
masa dewasa atau masa mereka memiliki kemampuan. Akan tetapi pendidikan
itu berlangsung selama seseorang mengerti tentang manfaat dan fungsi
pendidikan itu.
5. WHERE -à Dimana Pendidikan Berlangsung?
Pendidikan bisa berlangsung dimana saja tanpa harus menuntut diri
untuk bisa masuk di lembaga pendidikan formal. Pendidikan dapat
berlangsung mulai dari rumah kita bersama para anggota keluarga, sampai
pada perguruan tinggi. Bagi seseorang yang tidak memiliki kecukupan
secara finansial pun, tetap memiliki kewajiban untuk menempuh pendidikan
meskipun tempat pendidikan mereka hanyalah berupa tempat yang semi
formal atau bahkan tidak formal sama sekali.
ASAS-ASAS PENDIDIKAN
1. TUT WURI HANDAYANI
Makna dan arti Tut Wuri Handayani – Ing Ngarso Sun Tulodo – Ing Madyo
Mangun Karso, Terdiri dari 3 kalimat ungkapan atau slogan yang dibut
oleh bapak pendidikan kita sekaligus Pahlawan nasional Ki Hajar
Dewantara. Kalimat ini sering kita dengar pada waktu sekolah atau bisa
dilihat pada sebuah gambar/logo Tut wuri Handayani. Meski kalimat ini
terlihat sederhana sebenarnya tersimpan makna mendalam sebagai sebuah
ungkapan penting dari sebuah keteladanan bagi seorang pendidik atau
pemimpin baik moral maupun semangat bagi anak didiknya. 1 Logo Tut Wuri
Handayani Warna Makna Semboyan Tut wuri handayani Semboyan “Tut wuri
handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri
handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan
arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru
harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di
depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang
baik). Sehingga Tercipta kalimat : Di Depan, Seorang Pendidik harus
memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik, Di tengah atau di antara
Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Dari belakang Seorang
Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan.
Read more at http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/
Read more at http://uniqpost.com/7525/makna-semboyan-tut-wuri-handayani/
2. BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu idea, gagasan
pokok dalam konsep ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya berlangsung
di lembaga-lembaga pendidikan formal seseorang masih dapat memperoleh
pengetahuan kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti pendidikan di
suatu lembaga pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam
arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan
seseorang. Bedasarkan idea tersebut konsep belajar sepanjang hayat
sering pula dikatakan sebagai belajar berkesinambungan (continuing
learning). Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan
ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi
mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu
diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dan generasi muda, mereka
tidak akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan tetap dapat
memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya1. Belajar erat
kaitannya dengan psikologi. Dalam hal ini, Made Pidarta mengemukakan :
psikologi atau jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu
sendiri adalah roh dalam mengendalikan jasmani. Karena itu jiwa atau
psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia yang berada
dan melekat dalam diri manusia itu sendiri.2
Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuã. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak ito mencapai kedewasaan balk dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya.
Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai hang lahat.
Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuã. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak ito mencapai kedewasaan balk dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal untuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya.
Melalui pembahasan ini dimaksudkan untuk lebih memahami hakekat belajar dan bagaimana memberikan motivasi bahwa belajar itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan sejak dari buaian sampai hang lahat.
3. KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR
kemandirian belajar
Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar
dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997,
Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri
juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar
mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah
maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan
siswa (http://www.nwrel.org/planing/reports/self-direct/index.php )
Pengertian tantang belajar mandiri sampai saat ini belum ada
kesepakatan dari para ahli. Ada beberapa variasi pengertian belajar
mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan
Abdullah(2001:1-4)sebagaiberikut:
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).
2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).
3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).
4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal).
5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).
Jika para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara
sepotong-sepotong, maka Haris Mujiman (2005:1) mencoba memberikan
pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar
mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau
motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dan
dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki.
Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya –
baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo
belajar, cara belajar, maupun evaluasi belajar – dilakukan oleh siswa
sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa
untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk
menguasai suatu kompetensi tertentu.
Pengertian belajar mandiri yang lebih terinci lagi disampaikan oleh
Hiemstra (1994:1) yang mendeskripsikan belajar mandiri sebagai berikut:
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
1. Setiap individu siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan dalam usaha belajarnya.
2. Belajar mandiri dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran;
3. Belajar mandiri bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4. Dengan belajar mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi yang lain.
5. Siswa yang melakukan belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti: membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan kegiatan korespondensi.
6. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa, pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif.
7. Beberapa institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan
di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu
untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan
orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi
dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk
memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).
Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya).
SUMBER : https://ismantogurupenjas.wordpress.com/2014/01/31/memanusiakan-manusia-wawasan-pendidikan/
Comments