Palestina, ya, Tuhan menghendaki aku terlahir di Palestina. Negeriku,
Palestina, darahku, Palestina. Aku terlahir di tengah desing peluru dan
aroma kematian. Aku tak tahu, mungkin saat aku dilahirkan, tak jauh
dari sisiku, ada saudaraku sesama anak Palestina yang meregang nyawa
dengan luka menganga di dada dan kepala akibat peluru yang meghujam
atau pecahan bom yang mendera.
Aku menangis saat dilahirkan, itulah garis hidupku, untuk menangis
diawal kehidupanku. Mungkin tak jauh dari sisiku, ada juga yang
menangis, ya, Ibu dari anak Palestina yang kehilangan anak akibat
kejamnya peperangan. Anak itu sudah tidak bisa lagi menangis, mana
mungkin, dia sudah terbujur kaku, tak berdaya dengan darah mengalir dari
luka yang pasti sakit tak terkira…
Ibuku, pasti tersenyum saat aku lahir ke dunia, meski aku yakin, ia
tak akan menampakkannya saat melalui lorong kematian di rumah sakit yang
penuh sesak dengan gelimpang korban anak Palestina. Ibuku, pasti
menangis jua, meski tertahan sesak di dada.
Ayahku, saat itu tak ada, kelak aku tahu bahwa saat aku memandang
dunia, dia tengah memandang kematian dengan sekedar batu melawan tank
dan tentara yang membabi buta, menyerang menggila. Aku beruntung, masih
bisa bertemu ayahku, meski pada akhirnya aku harus rela, ayahku kelak
juga terbujur di tengah deru pesawat tempur yang memuntahkan bom kemana
saja, di kota yang kucinta.
Gaza, itu tercatat dalam buku kelahiranku, aku terlahir di Gaza.
Masa kecilku, kulalui dengan mainan senjata dan perang-perangan, ya,
bagaimana tidak. Kotaku dikuasai pasukan asing bersenjata. Sesekali
kulihat senjata itu menyalak, memuntahkan isinya, ada gas air mata, dan
tentu ada yang peluru tajam meminta nyawa, warga Palestina, dan tak
jarang anak Palestina.
Aku melihat anak Palestina seusiaku, sudah berani melawan pasukan
asing meski hanya dengan ketapel kecil berisi sejumput batu yang tak
berarti apa jika mengenai tameng tentara atau besi kendaraan lapis baja.
Mereka berani tampil ke muka hingga ke dekat moncong senjata. Aku tak
tahan, akhirnya akupun ikut jua.
Aku senang, karena aku merasa sebagai pejuang, alias jagoan. Aku tak takut, bukankah anak Palestina lain juga tidak takut ?
Aku belum berusia remaja sampai suatu saat kelak aku kehilangan
kawanku yang kulihat kerap melempar batu dan melontar ketapel tak
lelah-lelahnya, ya kelak ku tahu itu bernama Intifada. Kawanku menjadi
korban Intifada.
Lama kelamaan aku menjadi terbiasa, melihat dan mendengar kawan,
saudara, kerabat ataupun orang tak kukenal yang hilang atau tak tentu
semesta, kabarnya dibawa pasukan asing dimasukkan ke penjara gelap
gulita, atau tewas tak bernama. Aku terbiasa mengalami kehilangan, aku
terbiasa melihat dan merasakan derita, aku terbiasa melihat airmata dan
pasti aku terbiasa melihat warna merah mengalir dimana-mana.
Kata semua orang, kini kau sudah menjadi anak Palestina !.
Baru kutahu, anak Palestina berarti anak terjajah, yang harus
membebaskan negeri dari cerita kelam negeri yang terlunta. Dan baru
kutahu, Israel adalah negara yang dahaga atas tanah Palestina. Aku mulai
merasa, bahwa aku bermakna dan bangga menjadi anak Palestina.
___________________
Kini, di penghujung tahun, kudengar lagi deru mesin tempur
berseliweran di langit kotaku, kudengar dentuman membahana di
sudut-sudut wilayah permaiananku, kutatap kilatan cahaya mematikan
menyilaukan pandangan mataku disertai bunyi sirene di segala penjuru.
Pagi, siang dan malam terus berlanjut tak menentu, deru itu, dentuman
itu dan kilatan cahaya itu menyergap seluruh sisi hidupku. Kulalui hari
dengan berlari, berlindung dan bersembunyi dari serbuan tak menentu.
Aku tak tuli, kudengar tangisan dimana-mana, kudengar jerit teman
sebaya, Ibu-ibu Palestina menggendong anak dan orang tua paruh baya yang
terpaksa harus terpapah tanpa daya. Dan kudengar lenguh terakhir nyawa
di dada.
Aku tak buta, kulihat luka, kulihat jasad dimana-mana, kulihat merah
itu ada dan tak terkira, kulihat kotaku tak lagi indah mempesona. Dan
harapan itu sepertinya sirna.
Aku tak menangis, meski ayahku menjadi jasad tersisa di tengah
gempuran melanda kota. Tak ada lagi tangis, aku sudah terbiasa, seperti
juga anak Palestina lainnya.
Waktu itu tiba, kata orang mulai ada perang kota !
Aku berlindung dibalik reruntuhan bangunan rumah ibadah, aku lihat,
ada orang Palestina bersenjata, dengan tutup wajah dimuka, kutahu juga
ada remaja Palestina memanggul senjata. Mereka sigap, lincah, berlari ke
sudut-sudut tak terjamah, melawan pasukan asing yang menyerbu kedalam
kota. Aku tahu, mereka siap mati di tanah tercinta.
Ah, seandainya aku bisa melalui hari-hari ini, tanpa sebutir peluru
mengenai dada, tanpa pecahan bom menerpa kepala, mungkin aku tak-kan
lupa, ini catatan kelam manusia di tanah terjajah, Palestina.
Tuhan, perkenankan aku menjadi remaja, agar aku bisa berlari membawa
bendera, berikat kepala, bolehlah juga bersenjata, apa adanya, melawan
pasukan asing sampai tetes terakhir itu tiba.
Kalau kau berbaik hati Tuhan, ijinkan aku menjadi dewasa, agar aku
mengikat keras bendera di tiang dan sisa bangunan menjulang ke angkasa.
Kulekatkan ikat kepala, selekat jiwa dan raga, senjata, apapun bisa
kuguna, melawan hingga gelora di dada sirna bersamaan dengan hembusan
nafas yang tersisa.
Aku anak Palestina, selamanya Palestina…
Comments